Virus Sebagai Agen Infeksi

BAB I

PENDAHULUAN

Mikroba telah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ukuran tubuhnya yang mikoskopis terkadang membuat manusia tidak menyadari bahwa mikroba ini telah menyebar di berbagai tempat, bahkan di sekitar manusia itu sendiri. Salah satu mikroba yang dikenal kerana memiliki dampak negatif bagi keberlangsungan hidup manusia saat ini adalah virus. Menurut Ibrahim (2007), virus merupakan suatu unit tidak bersel yang sangat kecil dan merupakan garis batas antara yang hidup dan yang tidak hidup, serta berperilaku seperti organisme-organisme hidup ketika menginfeksi sel-sel.

Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat. Sebagai agen penyakit, virus memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahan yang membahayakan bagi sel, yang akhirnya dapat merusak atau bahkan menyebabkan kematian pada sel yang diinfeksinya. Sebagai agen pewaris sifat, virus memasuki sel dan tinggal di dalam sel tersebut secara permanen. Berdasarkan sifat hidupnya maka virus dimasukan sebagai parasit obligat karena keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada materi genetik inang (Kusnadi, 2010). 

Keunikan virus menjadikannya sebagai bagian dari makhluk hidup. Heterogenitas virus didasarkan pada ketergantungannya terhadap inang dalam melakukan replikasi. Dalam pikiran kita, virus dapat dianggap sebagai perluasan genetik dari inangnya. Interaksi inang- virus cenderung sangat spesifik, dan sifat biologis virus mencerminkan keragaman kemampuan sel inang. Keragaman virus lebih lanjut ditampakkan dari luasnya cara replikasi dan mempertahankan diri. 

Partikel virus berisi molekul asam nukleat, baik DNA maupun RNA, yang terbungkus mantel protein atau kapsid. Protein biasanya glikoprotein dalam kapsid menentukan hubungan yang spesifik antara virus dengan sel inangnya. Kapsid melindungi asam nukleat dan memfalititasi pengikatan dan penetrasi virus pada sel inang. Dalam sel, asam nukleat virus mengambil enzim inang untuk menjalankan fungsi replikasi virus. Pada beberapa kasus, informasi genetik dari virus dapat digabungkan dengan DNA dalam kromosom inang. Dalam lain hal, informasi genetik dari virus dapat menjadi bahan atau pabrik untuk memperbanyak virus. Beberapa virus yang berukuran sangat kecil, memerlukan bantuan virus lain dalam sel inang untuk berbiak. Agen delta, biasa dikenal sebagai virus hepatitis D, terlalu kecil untuk mengkode protein kapsid tunggal dan memerlukan bantuan virus hepatitis B untuk penyebarannya (transmissions). Virus – virus yang berbeda diketahui dapat menginfeksi berbagai tanaman dan hewan inang tertentu seperti prokariota dan setidaknya satu alga eukariota serta satu protozoa. Partikel mirip virus yang terlihat tidak memiliki fase infeksi ekstraseluler telah ditemukan pada jamur sebagaimana ditemukan pada beberapa genera alga.


BAB II 

PEMBAHASAN

Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh. (Kozier, et al, 1995). Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi. Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi. Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen (agen infeksi), sedangkan mikroorganisme yang tidak menimbulkan penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit timbul jika pathogen berkembang biak dan menyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika penyakit bisa ditularkan dari satu orang ke oranglain, penyakit ini merupakan penyakit menular (contagius). Mikroorganisme mempunyai keragaman dalam virulensi/keganasan dan beratnya suatu penyakit.

Mikroorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient maupun resident. Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transient melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari host/penjamu.

Virus adalah parasit obligat intraseluler yang menyerang dan mengubah sifat-sifat sel. Perubahan pada sel yang terinfeksi itu mungkin hanya sedikit, barangkali hanya dapat ditemukan karena adanya antigen baru pada permukaan sel, atau perubahan dapat meluas dan mengakibatkan lisisnya sel atau terjadinya transformasi malignan dan terbentuknya tumor. Secara umum, beratnya suatu penyakit viral pada hewan berhubungan dengan besarnya perubahan sel tersebut.

Karena organisme ini adalah parasit obligat intraseluler, eksistensinya terancam bila dihilangkan sama sekali dari tubuh oleh tanggap kebal. Sama halnya, Virus tidak akan terlayani sebaik-baiknya karena induk semangnya mati akibat penyakit yang disebkan oleh virus. Sebagai akibat dari faktor yang bertentangan ini, baik virus maupun induk semangnya harus dapat menjalani proses adaptasi dan seleksi. Virus diseleksi untuk kemampuan menghindari tanggap kebal terhadap induk semang, dan induk semang hewan diseleksi untuk resistensi terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus. Misalnya, pada infeksi yang adaptasi virus-induk semangnya tidak baik, penyakit cenderung bersifat akut dan ganas, tetapi tidak ada virus yang dapat ditemukan pada hewan yang tetap hidup. Penyakit tipe ini meliputi panleukopeni kucing, distemper anjing dan bentuk akut penyakit newcastle. Vaksinasi cenderung relatif berhasil pada penyakit tipe ini.

Banyak virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Hal ini merupakan pintu masuk virus yang paling sering ke dalam inang. Infeksi dapat terjadi walaupun inang mempunyai mekanisme pertahanan tubuh normal, seperti lendir yang menutupi hampir seluruh permukaan, aktivitas silia, dan makrofag alveolar. Beratnya infeksi pernafasan dapat berkisar antara tidak terlihat sampai amat berat. Penyakit yang paing berat biasanya terlihat pada bayi yang terinfeksi oleh paramiksovirus tertentu dan pada orang lanjut usia atau orang dewasa berpenyakit kronis yang terinfeksi oleh virus influenza.

Kebanyakan virus menimbulkan infeksi melalui saluran pencernaan. Beberapa virus, seperti virus herpes simplek dan virus epstein-Barr, mungkin menginfeksi sel dalam mulut. Virus-virus terpapar dalam saluran usus untuk mengasarkan (harsh) elemen-elemen yang terlibat dalam pencernaan makanan asam,basa, dan enzim proteolitik. Karena itu virus dapat menimbulkan infeksi melalui semua jalur yang resisten terhadap asam dan basa. Enterovirus dan adenovirus sebagi contoh virus yang menginfeksi saluran pencernaan, tetapi infeksi tersebut biasanya asimtomatik. Beberapa enterovirus, khususnya polio virus dan virus hepatitis A, merupakan penyebab penting penyakit sistematik tetapi tidak menimbulkan gejala usus. 

Kulit merupakan penghalang yang kuat dan tidak dapat ditembus oleh virus. Walaupun demikian beberapa virus dapat menembus penghalang ini dan memulai infeksi pada inang. Beberapa virus masuk melalui abrasi kecil pada kulit (poxvirus, papilomavirus, virus herpes simpleks), virus lain masuk melalui gigitan serangga vektor artropoda (arbovirus) atau inang vertebrata yang terinfeksi (virus rabies, virus herpes B), dan beberapa lainnya masuk melalui transfusi darah atau manipulasi lain yang melibatkan jarum yang terkontaminasi (virus hepatitis B, HIV, virus ebola). 

Invasi virus ke dalam sistem syaraf pusat biasanya menimbulkan masalah serius. Virus dapat memasuki otak melalui dua jalur : lewat aliran darah (penyebaran hematogen) dan melalui serabut syaraf tepi (penyebaran neuronal). Banyak virus, termasuk herpes-, toga-, flavi-, entero-, rabdo-, paramikso-, dan bunyavirus, dapat menginfeksi sistem syaraf pusat dan menyebabkan meningitis, ensefalitis, atau keduanya. Reaksi patologik infeksi virus sitosidal terhadap sistem syaraf pusat adalah nekrosis, peradangan, dan fagositosis oleh sel-sel glia. Penyebab gejala lain pada beberapa infeksi sistem syaraf pusat, seperti rabies, tidak diketahui.

Yang menjadi perhatian khusus bagi ahli imunologi adalah penyakit virus yang terutama menginfeksi sel jaringan limfoid. Beberapa diantara penyakit ini dapat secara khusus menyerang organ limfoid primer. Misalnya, mencit dapat ditulari virus herpes yang menyebabkan nekrosis yang masif pada korteks dari timus. “timektomi oleh virus” ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya cacad dalam proses kekebalan. Pada ungggas, virus dari penyakit bursa menular, terutama menyerang sel limfoid bursa fabrisius mengakibatkan nekrosis. Virus ini tidak sepenuhnya khusus bagi bursa karena dapat juga merusak limpa dan timus. Tetapi limpa dan timus biasanya sembuh kembali sedangkan bursa mengalami atrofi. Akibat dari infeksi ini, seperti yang diduga, sangat jelas pada anak ayam yang tertulari segera menetas. Hewan ini mempunyai kemampuan yang sangat berkurang dalam produksi antibodi. Bila infeksi virus penyakit bursa menular terjadi lebih lambat beberapa minggu sesudah menetas, maka, dapat diperkirakan, bahwa produksi antibodi cenderung tidak terpengaruh.

Virus tertentu mampu menginfeksi merusak organ limfoid sekunder. Misalnya virus distemper anjing (DA), walaupun virus tersebut dapat berkembang biak pada berbagai macam sel, memiliki predileksi bagi sel jaringan limfatik maupun epitel dan jaringan syaraf. Tumpahan dari sel yang tertulari jaringan ini memungkinkan virus mencapai jaringan epitelial dan otak. Kerusakan jaringan limfoid dan epitel pada penyakit ini dan imunosupresi yang ditumbuhkannya, menyebabkan sebagian besar terjadinya penyakit klinis. Bila anjing bebas hama ditulari dengan virus distemper yang virulen, anjing akan menderita penyakit yang relatif ringan, mungkin karena tidak terdapatnya infeksi sekunder.

Selain pada distemper anjing, kosongnya jaringan limfoid terlihat pada penyakit panleukopeni kucing (PLK), leukimia kucing (LK) dan demam babi afrika, yang pada penyakit-penyakit tersebut virus cenderung bertempat pada pusat germinal. Virus diare sapi (VDS) dapat menyebabkan kehancuran limfosit pada simpul limfe, limpa, timus, dan tambalan peyer. VDS juga menimbulkan efek imunosupresi umum, melalui perangsangan produksi interferon, dan mampu menekan beberapa fungsi netrofil seperti degranulasi dan sitotoksitas seluler tergantung antibodi (SSTA).

Efek beberapa virus pada sistem kebal dapat relatif kompleks atau ganjil. Pada distemper anjing, misalnya, reaktivitas limfosit terhadap fytohemaglutin menurun tetapi penolakan cangkok jaringan adalah normal. Pada penyakit visna, suatu penyakit syaraf pada domba yang disebabkan oleh virus retro, reaksi kebal berperantara sel misalnya penolakan cangkok jaringan mengalami penurunan sementara tanggap sel-B bertambah. Beberapa virus leukimi dapat menyebabkan efek depresi selektif sehingga depresi dari tanggap antibodi 7S lebih besar daripada depresi dari tanggap antibodi 19S. Pada anemi menular kuda, tanggap igG (T) secara tak tetap tertekan sedangkan sintesis subklas imunoglobin yang lain tetap tak terpengaruh. Telah diketahui bahwa walaupun ayam yang tertulari oleh penyakit Marek menunjukkan kenaikan reaktivitas inang versus cangkok jaringan, tetapi menunjukkan menurunnya penolakan cangkok jaringan.

Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :

1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran darah mencapai organ sasaran. Contohnya virus polio. Virus polio memasuki tubuh melalui selaput lender usus, lalu masuk ke dalam peredaran darah mencapai sumsum tulang belakang dotak, di sana virus melakukan replikasi.

Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi dengan anti toksin dalam titer yang rendah. Dengan kata lain titer anti toksin yang rendah di dalam darah sudah cukup untuk mengikat toksis yang berada dalam perjalanan ke sumsum syaraf pusat, sehingga tidak lagi dapat berikatan dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan pola penyebaran melalui peredaran darah mempunyai periode inkubasi yang panjang. Contoh lain dari pola penyebaran yang sama dengan virus polio adalah virus penyebab penyakit morbili dan varicella.

2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran darah jadi tempat masuk virus merupakan organ sasaran. Contohnya virus influenza organ sasarannya adalah selaput lendir saluran pernafasan yang sekaligus merupakan tempat masuknya virus.

Pada jenis infeksi ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative tidak efektif terhadap virus penyebab penyakit bila dibandingkan dengan virus penyebab penyakit yang penyebarannya melalui peredaran darah. Hal ini disebabkan karena selaput lendir saluran nafas tidak terlalu permiabel bagi Ig G dan Ig M. Imunoglobulin yang terdapat dalam titer tinggi pada selaput lendir saluran nafas adalah Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel plasma yang terdapat dalam lamina propria selaput lendir setempat. Ig A dalam secret hidung inilah yang menetralisir aktivitas virus pada penyakit influenza.

Pada beberapa penyakit virus antara lain influenza serangan penyakit dapat kembali terjadi dalam waktu relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini bukan disebabkan rendahnya kekebalan, tapi karena virus influenza mengalami mutasi sehingga didapatkan strain baru yang tidak sesuai dengan antibody yang telah ada.

Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa inkubasi pendek yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran akhir bagi virus itu adalah sama dengan jalan masuk sehingga tidak terdapat stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki tubuh. Hanya ada sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling tepat untuk mengatasi infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa setelah produksi interferon mulai menanjak, maka titer virus yang masih hidup dalam paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat turun. Titer antibody yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk mencukupi nilai yang diperlukan bagi penyembuhan.

Referensi :

Brooks, Geo F., dkk. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : salemba medika 
Jawetz, Ernest. 1996. Mikrobiologi kedokteran (medical microbiology) edisi 20. Jakarta : EGC
Tizard, Ian R. 1987. Pengantar Imunologi veteriner diterjemahkan oleh : Masduki Partodiredjo. Surabaya : Airlangga university press.

Seruan Mulia

About Seruan Mulia

situs web islami kini dan masa depan

Subscribe to this Blog via Email :