Fiqih merupakan bentuk masdar ”الفقه” dari فقه – يفقه yang berarti memahami atau mengerti. Contohnya: firman allah dalam surah al-isra’ ayat 44.
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ ۗ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Artinya :
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.
Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam buqhari juga disebutkan “ barang siapa yang dikehendaki allah menjadi orang yang baik disisinya niscaya diberikan kepadanya pemahaman ( yang mendalam ) dalam pengetahuan agama.
Dari ayat dan hadist diatas, dapat ditarik satu pengertian bahwa fiqih itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan.
Adapun dalam pengertrian terminologi (istialah), terdapat variasi dan difinisi dari fiqih antara lain definisi yang dikemukakan oleh ibnu al-hajib, sebagaimana yang dikutip ibnu qudamah : fiqih yaitu” pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang bersifat parsial, yang berasal dari dalil-dalil yang spesifik, melalui cara penelitian terhadap dalil”.
Sedangkan definisi yang dikemukakan ibnu as-subki ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuata manusia yang diusahakan dari dalil-dalil syara’ yang spesifik.
Diantara 2 definisi diatas, definisi kedua yang dipandang lebih tepat untuk menunjuk pengertian fiqih, karena lebih sederhana, sekaligus menggambarkan pengertian fiqih secara lengkap.
Dari definisi yang kedua diatas dapat diketahui :
1. Fiqih adalah seperangkat ketentuan hukum-hukum syara’ yang berasal dari allah melalui wahyu yang disampaikan kepada rasulnya yaitu nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, hukum akal (logika), hukum kebiasaan (adat), hukum kausalitas dan hukum-hukum lainnya yang murni berasal dari hasil pemikiran manusia, tidak termasuk dalam pengertian dan pembahasan fiqih.
2. Fiqih berkaitan dengan perbuatan manusia. Artinya, masalah-masalah yang tidak termasuk dalam kategori perbuatan manusia, tidak termasuk dalam pembahasan fiqih. Misalnya, yang berkaitan dengan keimanan dan kepercayaan serta masalah-masalah ahklak ini dibahas dalam ilmu tauhiq dan tasawuf.
3. Hukum-hukum fiqih itu sendiri didapat melalui usaha penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan oleh mujtahid untuk menggali dan memahami nash-nash syara’ baik al-qur’an maupun hadist, sehingga mujtahid tersebut dapaat mengethui bahwa hukum dari suatu perbuatan tertentu susuai dengan yang ditetapkan allah. Dalam konteks ini, pada hakikatnya tingkat kepastian hukum fiqih tidaklah bersifat mutlak benar dan pasti (qath”i atau absolute), dalam arti seratus persen benar melainkan bersifat kuat dugaan (zhanni atau relative). Hal ini mengingat bahwa dalam penetapan hukum-hukum tersebut terdapt keteerlibatan manusia atau mujtahid untuk memahami atau menggali hukum-hukum fiqih tersebut melalui kegiatan ijtihad, sedangkan manusia itu sendiri memiliki berbagai keterbatasan untuk menemukan kebenaran yang bersifat pasti.
4. Hukum yang pasti benar hanyalah yang secara jelas dan lansung berasal dari Allah. Oleh karena itu, menurut ilmu usul fiqih, ketentuan hukum tentang wajibnya shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat, haji, atau tentang haaramnya membunuh tanpa alasan yang sah, makan babi, mencuri, berzina, meminum-minuman keras tidak termasuk dalam kategori fiqih. Karena tingkat kebenaran dan ketentuan-ketentuan hukum tersebut bersifat jelas dan pasti. Karena sifat tegas dan jelasnya nash-nash yang berkaitan dengan masalah diatas maka untuk mengetahui hukum-hukum tersebut tidak diperlukan upaya penelitian dan pemahaman yang mendalam terhadap nash al-qu’an dan hadist. Dengan kata lain, untuk mengetahui hal-hal tersebut tidak memerlukan ijtihad.